Minggu, 12 Februari 2012

TAUT


Puncak rindu yang paling dahsyat tuh ketika dua orang tak saling sapa,
tapi diam-diam saling mendoakan

Sudjiwotejo

20.54
Bagas,

Ini kali kesekian aku duduk disini. Menatap dinding-dinding kayu kecoklatan ditimpa pendar lampu sekitarnya. Beradu pandang dengan jajaran poster tua, seperti mengajak bicara tentang masa-masa panjang yang pernah disaksikannya ditempat ini. Secangkir kopi pekat, gerimis sejak sore diluar sana, dan dengung sayup suara Etta James menyanyikan a Sunday Kind of Love. 

Beberapa kali aku tergerak untuk mengalihkan mata ke sudut itu. Pada 45 derajat kearah kiri, dekat jendela kaca yang dirubung lembab hawa malam. Gadis berambut panjang yang tak jelas lekuk parasnya, duduk pada kursi kayu menekuni layar komputer jinjingnya.

Sudut mataku sesekali, masih bisa mencuri bagaimana dia bersandar lantas melempar pandang menembus kegelapan luar sana. Seperti hendak memuntahkan jenuh setelah lama bersentuhan dengan tombol-tombol komputernya.

Suara batuk dari arah kananku terdengar. Itu Pak jon, pemilik kafe ini. Lelaki yang memasuki masa senjanya dengan semangat. Tak pernah mau tunduk dengan keriput kulit juga uban di kepalanya yang sudah mulai liar menjalar hingga kumis dan jenggotnya. Aku tahu, dia memperhatikanku sejak tadi. Pak Jon, bukan laki-laki lugu, yang tidak memperhatikan anak muda seumuranku mencuri pandang kepada gadis yang duduk sendirian, dikafenya.

Dia tentu tahu, bahkan pasti tersenyum dalam hati sembari menebak-nebak apa yang sedang kupikirkan. Tapi biarlah. Orang tua itu sudah lama akrab denganku. Sahabat baik yang sering mengajakku menghabiskan malam, berbincang hingga dinihari tentang apapun. Masa lalu, piano dirumahnya yang sudah malas ia bunyikan, juga kerinduan terhadap mendiang istrinya yang telah lebih dulu meninggal dunia.

Ah, kembali ke gadis itu. Kenapa dia menarik perhatianku, itu misteri. Aku tak mudah jatuh hati atau tertarik kepada seorang wanita. Butuh proses yang tidak pendek. Tapi untuk yang satu ini, aku sungguh tidak habis pikir. Rasa penasaran, daya tarik magnetis dari caranya duduk, diam juga bergerak, membuatku ingin menghampiri lantas menyapa. Barangkali inilah cinta yang mendadak itu. Ketika perasaan tiba-tiba berubah tanpa sebab yang jelas.

Aku jadi teringat, pada suatu malam, Pak Jon pernah membisikkan sebuah kalimat yang membuatku tercenung. Saat itu fajar sudah menjelang tanpa terasa, semalaman kami berbincang.

“Pada suatu saat, cinta adalah sebuah peristiwa diluar semua rencana. Dia datang, bahkan tanpa kita sadar” Sederet kata-kata itu kembali menggaung dikepalaku.

****
Sembrani,

Ini sudah ketiga kalinya, aku duduk diantara deretan kursi-kursi kayu yang berada di ujung. Melihat dia yang selalu memilih duduk di meja yang tidak terlalu jauh denganku. Membuatku bisa sedkit melihat sosoknya, lelaki berkulit putih yang selalu mengenakan kemeja berlengan panjang di lipat hampir sesikut, dengan dua kancing yang terbuka dan memperlihatkan kaos oblong yang senada. Rambutnya terlihat rapi dengan gel, dan terbelah kesamping. Duduk manis dengan secangkir kopi di meja yang tepat berada samping kanannya. Di temani lelaki yang sudah cukup tua, dengan pakaian serba putihnya, lengkap dengan celemek dan topi yang menutupi sebagian ubannya. Dia pak Jon, pemilik kafe ini. Diapun sangat ramah, selalu menyambutku dengan senyuman manis setiap kali datang kesini.

Setiap pandanganku mengarah pada mereka, ingin sekali rasanya aku menjadi bagian dari kehangatan mereka. Yang selalu dipenuhi tawa kecil saat berbincang-bincang. Tidak sepertiku, yang setiap kali kesini hanya sendirian, menghabiskan kopi dengan ditemani layar komputerku. Disuguhkan dengan gambar-gambar hasil jepretanku yang memaksa untuk segera di edit karna deadline. Lalu folder “ yogyakarta dikala senja “ tulisanku yang belum sempat kusentuh kembali sejak minggu lalu. Setiap kali aku mencuri waktu memandanginya dalam waktu beberapa detik saja. Sosok dia yang selalu mengingatkanku pada seseorang dimasa lalu. Hal aneh yang memaksaku terseret dalam ruang kenangan saat bersamanya. Sosok yang kini hanya ada dalam ingatanku, sudah jauh berlalu kutinggalkan, meski masih menyisakan sakit di hati.

Mungkin aku sedang berada dalam satu ruang kesepian yang terlampau mengendap di hati. Rindu dengan sekedar sapaan lembut dan sosok yang mau berbagi banyak cerita denganku. Sebenarnya sudah cukup lama aku tertarik padanya, berharap dia bisa datang kemejaku. Membaca cangkir kopinya, mengajakku berbincang- bincang hal ringan dahulu, namun tentu itu akan cukup menyenangkan dan mengusir semua rasa sepiku.

***
Bagas,

Sekali ini, aku benar-benar kesal. Ya, pintu itu seperti mengubah keberanian. Sesaat sebelum masuk keruang ini, ketika kulihat gadis itu berada ditempat biasanya, aku bertekad menghampirinya. Tapi kembali gagal. Kepengecutanku menyergap begitu kakiku menjejaki lantai ruangan. Dan apa akibatnya ? aku teronggok di kursi ini, bersanding kopi yang tak kumengerti lagi pahit sedapnya, juga hamburan angan-angan yang bertengger diubun-ubunku.

Persoalan wanita dan asmara tak pernah mudah bagiku. Seakan-akan ada tembok maya besar yang mengurung lalu menuntut untuk diterobos. Anehnya, itu belum pernah berhasil. Barangkali aku tercipta untuk selalu bermain petak umpet dengan cinta. Tiap kali ada kesempatan untuk memulai, dia datang serupa teka-teki, lalu aku mesti sibuk mencari jawab menemukan kunci-kunci.

Padahal aku lelah. Begumul dengan tumpukan pekerjaan, menghabiskan hari berteman teori, diktat dan sejumlah pertanyaan yang mengantri. Sebagai peneliti, kesepian adalah niscaya. Melahap kertas-kertas catatan, sembari menatap rumus-rumus untuk ditaklukkan. Tapi aku butuh perubahan. Aku menuntut itu pada diriku.

Disuatu pagi, saat matahari baru saja menggeliat, aku membayangkan merdu suara perempuan menyapaku dari seberang jauh lewat telepon. Lalu kencan, menikmati senja sela bangunan tua, pada tanah lapang berumput. Bukankah indah apabila belaian tangan halus kugenggam, sembari kuceritakan dengan kekagumanku pada senja ?

Ah, sudahlah, barangkali ini hanya mimpi yang tak mungkin terjadi. Atau, apakah aku butuh keajaiban ? rentetan kebetulan yang hadir tanpa diduga. Tapi, jika keajaiban itu memang ada, yang kuminta adalah, aku menginginkan gadis itu. Tak peduli siapa dia, meskipun aku hanya beberapa kali melihatnya.

Bagiku, cinta tak butuh perkenalan. Justru cintalah yang butuh dikenali. Lewat rasa, seperti yang sekarang bergemuruh di dadaku

***
Sembrani,

Malam ini sehabis pulang dari masa-masa kerjaku selama di kantor sejak tadi pagi. Bertemu dengan satu pasangan yang mendatangiku dengan tujuan sama, seperti pasangan-pasangan yang lalu. Untuk melakukan season pemotretan prewedding. Aku hanya bisa menelan ludah yang mulai terasa serat  di tenggorokanku, saat dengan manis menunjukkan beberapa contoh album foto lama, dengan menjelaskan konsep-konsep baruku untuk mereka pakai di momen-momen sebelum hari pernikahan mereka tiba. Aku membuka pintu kafe ini dengan cukup kesal, entah apa yang membuatku kesal sekali malam ini. Mungkin aku  iri pada pasangan-pasangan yang selalu datang dengan senyuman kebahagiaan mereka, dan aku harus menyambutnya dengan senyuman pula, mengenyampingkan apa yang bergejolak dalam hatiku sendiri. Keterpaksaan ? Ya barangkali itu bisa dikatakan dengan semua senyumanku, hanya atas dasar kewajibanku memberikan pelayanan terbaik pada setiap pelangganku.

Saat baru saja duduk di meja biasaku, tak lama dari itu aku melihatnya kembali, sosok yang selalu menarik semua perhatianku. Dengan pakaiannya yang seperti biasa, namun entahlah aku merasa dia berbeda hari ini. Dia nampak jauh lebih rapih dan tampan dari biasanya, apa special untukku? Jantungku tiba-tiba berdebar dengan kencangnya, berharap dengan angan-angan yang tak bisa aku kendalikan dengan logikaku.

“ Mungkin dia akan menghampiriku malam ini. Oh tidak..tidak.. apa rambutku masih rapih, apa riasan makeup pada wajahku belum luntur..apa yang harus aku katakan nanti, kata Hallo, Hey..atau apa ”

Batinku disibukkan dengan banyak pertanyaan-pertanyaan konyol. Tentang apa yang akan kulakukan jika dia tiba-tiba saja duduk didepanku. Namun semua pertanyaanku itu terjawab dengan rasa kecewa, sesaat aku merasakan langkahnya melewatiku begitu saja. Dia duduk kembali ditempat biasa, dimana dia akan melewatkan waktu malamnya bersama pak Jon, bukan aku.

Aku tertawa tanpa nada, memandang sendu pada cangkir kopiku. Asapnya masih mengembang diudara,ku biarkan menerpa wajahku. Hangat sekali, meski tak sehangat hatiku saat ini. Sesungguhnya, aku ingin bercerita satu hal, tentang ketidaknyaman dalam pekerjaanku di eo wedding. Melihat banyak pasangan yang akan seketika menghujam jantungku tanpa mereka sadari, apa lagi mengerti. Tentang banyak kenangan pahit, dalam sebuah bingkisan rencana pernikahan. Namun kepada siapa aku harus bercerita, menulis saja tidak cukup untukku. Aku butuh teman, dan aku tidak mengerti kenapa setiap perasaan itu datang, pandanganku tertuju padanya, lelaki yang kini duduk ditempat biasanya. Mungkin ini cinta, yang bahkan sudah lama tak kurasakan, karena mati dengan rasa kecewa yang dalam.

***
 Bagas,

Gerimis, menderaslah. Itu doaku dalam hati. Hanya dengan hujan yang besar, detak jarum jam punya alasan untuk terkesan melambat. Aku butuh waktu lebih, untuk menata nafasku, berdamai dengan degub jantung atau menekuk-lututkan kebimbanganku. Aku menginginkan ratusan alasan untuk tidak beranjak dari tempatku, tetap menikmati sisa kopi, tanpa harus terintimidasi dorongan untuk menghampiri gadis itu.

Ini bukan persoalan memilih lalu menentukan nasib. Aku tak punya kekuasaan apapun terhadap segala ketentuan di masa depan. Apalagi berkaitan dengan siapa yang akan menemaniku menghabiskan hidup. Bersinggungan dengan siapa yang hendak kuajak merawat cinta bersama dalam gandengan tangan. Bukan, bukan itu. Aku hanya khawatir, bahwa setelah kuhampiri gadis itu, lalu persapaan terbangun, saling mengenal, bertukar pikiran, akan membuat rasa ini tak sekuat hentakan seperti halnya sekarang.

Atau ini hanya semacam argumentasi yang kubuat-buat karena begitu menjulangnya kepengecutanku ? ah entahlah. Kupikir merawat rasa akan lebih penting ketimbang mencari atau bahkan menghancurkannya. Saat ini aku hanya ingin merawatnya, dengan tidak merusaknya lewat kebodohan-kebodohanku, karena gagap komunikasi.

Aku akan tetap disini, menekuni keresahaan juga manisnya bayangan-bayangan sekaligus. Aku tak akan mendekatinya. Memilih untuk mengabadikan segala kegaduhan didadaku ini dengan diam tanpa tindakan. Aku mencintainya, oleh karena itu aku membiarkannya hanya dalam bayangan. Ya, untuk keabadian.

Pergilah, berlalulah. Kita akan saling mengingat. Aku sudah merelakan mata ini untuk melepasmu melewati pintu itu.

****

Sembrani,

Waktu yang cukup lama sudah aku habiskan disini. Dengan sebuah harapan-harapan yang lagi dan lagi datang dalam benakku. Mengembangkan lagi sebuah angan yang sempat hancur dalam sekejap dengan kenyataan yang berlalu didepanku. Sebentar aku mencuri waktu memandanginya diam-diam, melihat sekelibat dia masih duduk manis disana, dengan cangkir kopi yang sudah berubah tempat. 

Aku menyandarkan pungungku pada sofa yang nyaman ini, tempat duduk dimana selalu dikosongkan oleh pak jon untukku, aku sangat merasa istimewa karena itu. Pandanganku beralih pada pemandangan malam di luar sana, dengan beberapa kendaran yang masih sibuk  hilir mudik kesana kemari mengisi ruas-ruas jalan. Pikiranku melayang jauh dengan sendirinya. Tidak, mungkin aku hanya sedang ada dalam ruang rasa rindu atas dasar kesepian saja. Aku tidak ingin pada akhirnya semua kembali buruk seperti dulu. Hanya manis sesaat yang kurasakan saat dia datang menyapaku disini, menukar banyak pemikiran dan cerita yang akan membuatku  terjebak pada harapan-harapan besar. Ngeri, bukan main sakit yang masih bisa kubayangkan jika harus kehilangan sosok tercinta untuk kedua kalinya, dan aku belum tentu siap untuk menerima rasa-rasa khawatir dari keluarga dan orang-orang terdekatku. 

Mungkin ini yang dinamakan cinta,  sebuah perasaan tulus yang datang dari hati. Akan kupelihara dengan indah dan membiarkannya mengembang dihatiku,  tak  akan kubiarkan segala kesalahan kecil yang akan berubah besar karena keinginan atau rasa egoisku untuk bersamanya. Cinta akan mengembangkan segala hal yang indah, bukan paksaan. Aku menarik diri dari kenyamanan dan gejolak-gejolak hatiku sendiri, mencoba berdamai antara keegoisan dan perasaan yang datang dari hati. Aku rasa, aku membutuhkan waktu yang cukup lama lagi, untuk mampu memperbaiki dan memulihkan hatiku sebelum memutuskan untuk berani jatuh cinta kembali. Biar dia menjadi cinta dalam hatiku, biar dia berkembang dalam hatiku dengan indah tanpa merusaknya dalam hubungan fisik, tanpa kata, tanpa sapa namun terasa.

Aku meneguk sisa kopiku yang mulai dingin, dan memutuskan untuk pulang. Menyiapkan diri untuk banyak pekerjaan dan rutinitasku esok hari. Aku berdiri dan berjalan perlahan menuju pintu kafe ini, dengan berat hati meninggalkan apa yang sudah menjadi bagian manisku di kafe ini. Camera canonku masih setia dalam genggamanku, menyimpan beberapa gambar dia saat asik berbincang-bincang bersama pak jon, ada gambar-gambar yang mengoreskan senyuman manisnya disini, cukup untuk kunikmati disepanjang malamku dirumah.

*** 
Pak Jon,

Kedua anak muda itu membuatku semakin yakin bahwa keindahan selalu dibangun dengan kasih sayang. Belakangan ini aku memikirkan mereka. Aku belum terlalu tua untuk bisa membaca gerak tubuh dan bahasa wajah keduanya yang saling tertarik. 

Dari sebalik meja ini aku masih bisa menyaksikan mereka, satu sama lain saling mencuri pandang, lalu setelahnya, sibuk membungkam perasaan masing-masing. Gadis itu, dengan suara lembutnya seperti hendak mengatakan sesuatu ketika aku menghampirinya untuk menyuguh minuman yang dipesan. Meski basa-basi menutupnya, tapi aku bisa membaca air mukanya yang berharap aku  menyampaikan sesuatu tentang lelaki muda diseberangnya. Mereka saling merindukan dalam diamnya masing-masing.

Ini menggelikan. Tapi bukankah seperti itu asyiknya bermain asmara. Seperti masa laluku dengan istriku, juga seperti yang orang-orang rasakan..  Cinta itu keserupaan, datang dengan desir yang sama, walaupun bentuknya bisa berbeda.

Melihat mereka, aku seperti terlempar kepada masa-masaku dahulu. Fragmen gerak-gerik yang dibuat keduanya menebar aroma nostalgia yang menyengat. Tiba-tiba aku merindukan istriku, Mengingat saat-saat terakhir sebelum kau pergi. Di teras belakang rumah kita kau guraukan, bahwa suatu saat jika ajal memisahkan salah satu dari kita, hal yang sangat kurindukan adalah cara kita melewatkan malam. Duduk berdua, menikmati bulan atau hujan, tanpa bicara. Aku setuju denganmu, istriku. Ada hal-hal yang lebih dahsyat kurasakan, justru ketika kita menyedikitkan kata-kata. Tangan saling menggenggam dan kita bersapa lewat sentuhan, juga bisikan hati masing-masing, saling bersahut.

Malam ini aku benar-benar merindukanmu, istriku. Tuhan selalu menjagamu.

Aku beranjak, kedua anak muda itu mulai menunjukkan tanda akan meninggalkan tempat ini. Sang gadis melenggang terlebih dahulu. Seperti biasanya, melempar senyum setelah barang-barangnya terkemas, lalu menyapa dengan suara lembutnya, dan kubalas dengan anggukan.

Dan lelaki muda itu ? ah, ingin rasanya aku membesarkan hatinya. Tatapannya yang disembunyikan dari ketidakrelaan atas kepergian si gadis ingin kutangkap dan kutampung digenggaman. Hingga datang waktunya aku akan merangkulnya dan membisikkan “Nak, yang terdahsyat dari perasaan cinta adalah ketika tak saling sapa, tidak juga saling kenal, tanpa menyentuh satu sama lain, tapi saling merindukan. Bercinta dalam diam, merawatnya, lalu biarlah waktu yang akan menghanyutkan, dititik mana kedua rasa itu akan bertemu. Itulah kesetiaan, puncak komitmen terhadap cinta”

Jakarta – Manado, 12 februari 2012

Di tulis bersama kakak hebat Erik supit ( @eriksupit ), di #20HariNulisDuet dengan tema ' Komitmen '

Tidak ada komentar:

Posting Komentar